Sebut saja dia A. Siapa yang menyangka nasib akan membuatnya terpuruk dan mejadikannya merasa putus asa dan tidak berdaya? Dia cantik, pintar, rajin ikut kajian, dan pernah kuliah magister pula meski tidak selesai. Nyatanya, KBGTP (Kekerasan berbasis Gender Terhadap Perempuan) yang berulang-ulang telah menjadikannya mengalami disabilitas mental yang membutuhkan recovery berkepanjangan. Bahkan setelah bertahun-tahun, traumanya belum juga pulih dan belum mampu membuatnya bangkit dari keterpurukan.
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa dia tidak memiliki akses yang cukup untuk mengadu dan mendapatkan bantuan atas permasalahannya. Posisinya yang ada di daerah meyebabkan fasilitas layanan bagi kasus yang dialaminya kurang maksimal. Saat dia membutuhkan rumah singgah, saran dari ahli hukum dan support psikolog, semua itu belum tersedia di P2TP2A kabupaten. Komnas Perempuan menyatakan bahwa banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, belum lagi mampu diimbangi oleh peningkatan layanan baik infrastruktur maupun SDM.
Saat kasus kekerasan terjadi, yang paling dibutuhkan oleh korban adalah perlindungan. Ketika keluarga tak lagi mampu memberi rasa aman, maka memahami langkah-lagkah perlindungan diri menjadi sangat berarti.
Berikut contoh langkah-langkah yang bisa diambil oleh korban :
- Lapor ke RT/RW
- Cari perlindungan ke rumah singgah P2TP2A terdekat.
- Lapor ke polisi. Buat visum kalau terjadi bukti penganiayaan fisik.
- Berdasarkan informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) para korban kekerasan dapat melapor melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Selain melapor ke layanan SAPA 129, masyarakat bisa melapor kekerasan yang dialami atau yang diketahui melalui WhatsApp di 08111129129.
Layanan yang disediakan Kemen PPPA ini bekerja sama dengan PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom Indonesia) dan merupakan revitalisasi layanan pengaduan masyarakat Kemen PPPA untuk melindungi perempuan dan anak. Layanan tersebut juga merupakan implementasi Peraturan Presiden (PP) Nomor 65 Tahun 2020 Terkait Penambahan Tugas dan Fungsi Kementerian PPPA. Masyarakat, kementerian/lembaga atau unit layanan di daerah dapat melaporkan langsung kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditemui atau dialami.
Kemen PPPA telah menyusun proses bisnis layanan rujukan akhir yang komprehensif bagi perempuan dan anak. Setidaknya terdapat enam layanan standar dalam penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Yakni pelayanan pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, dan pelayanan pendampingan korban.
Sebagai warga masyarakat, peran aktif dalam mencegah dan membantu korban kekerasan terhadap perempuan sangat krusial, di antaranya adalah:
- Membuka ruang diskusi.
- Melakukan aksi-aksi nyata kepedulian sosial.
- Care secara personal. Aware terhadap data agar terbangun kewaspadaan dan empati terhadap kekerasan berbasis gender ini.
- Perkuat pendidikan agama. Hal ini merupakan pondasi bagi tercegahnya kasus KBG.
Ada banyak factor penyebab terjadinya kekerasan. Faktor penyebab perilaku kekerasan menurut teori adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi yaitu meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, stres, depresi, serta pengaruh obat bius. Sedangkan faktor yang bersifat sosial antara lain seperti konflik rumah tangga, faktor budaya, dan media massa. Sebetulnya dengan pondasi keimanan yang baik, semua factor ini bisa teratasi.
Akhirnya, peran pemerintah sebagai fasilitator yaitu adanya ketersediaan sarana, prasarana, dan SDM yang mendukung proses penanganan korban kekerasan. Peran pemerintah sebagai pelaksana itu sendiri, yaitu layanan pengaduan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga pemulangan korban ke lingkungannya.
By : Titin Kustini (Dosen Universitas Majalengka)